HUMANIORA KESEHATAN
I. PENDAHULUAN
A. Deskripsi
Humaniora
merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala hal yang
diciptakan atau menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat, hukum,
sejarah, bahasa, teologi, sastra, seni dan lain sebagainya. Atau makna intrinsik nilai-nilai kemanusiaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam bahasa Latin, humaniora artinya manusiawi.
Menurut
Martiatmodjo, BS dalam “Catatan Kecil tentang Humaniora” dikatakan
sebagai Ilmu Budaya Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di Perguruan
Tinggi dan merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau
pendidikan humaniora. Humaniora ini menyajikan bahan
pendidikan yang mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia
menjadi lebih manusiawi. Martiatmodjo menegaskan bahwa perlunya
humaniora bagi pendidik berarti menempatkan manusia di tengah-tengah
proses pendidikan.
B. Manfaat/Relevansi
Lantas,
apa relevansinya mempelajari humaniora bagi seorang dokter? Dokter
adalah salah satu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia
sebagai lawan interaksinya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui
segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai makhluk sosial. Salah satunya dengan pengetahuan humaniora ini.
Sebetulnya,
pengetahuan ini haruslah terintegrasi ke dalam seluruh kurikulum
kedokteran (demikian juga semua pokok bahasan yang ada dalam blok ini
harus diintegrasikan ke dalam tiap-tiap blok). Karena yang kita harapkan
adalah lahirnya dokter-dokter yang tidak saja kompeten dalam
keilmuannya, tapi juga memiliki perilaku yang manusiawi, memperlakukan
pasiennya seperti dirinya ingin diperlakukan. Tentu saja perilaku
tersebut tidak akan muncul tanpa adanya pengetahuan tentang apa dan
bagaimana sebetulnya sifat yang manusiawi itu.
Agar
Anda dapat memahami dan selanjutnya dapat menerapkan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam humaniora, maka Anda diperkenalkan dengan
pengetahuan ini. Tentu, pengetahuan ini sendiri belumlah cukup untuk
mencapai apa yang kita harapkan, tapi harus dipadukan dengan
pengetahuan-pengetahuan lain yang akan dipelajari di dalam blok ini.
C. Tujuan Instruksional Khusus
Mahasiswa mampu menerapkan prinsip-prinsip humaniora dalam Ilmu Kedokteran dan Kesehatan
II. PENYAJIAN
Apakah
Anda pernah berpikir, ingin jadi dokter seperti apakah Anda kelak?
Sudahkah Anda memiliki bayangan dokter ideal itu seperti apa? Mungkin,
Anda merasa tertarik melihat dokter yang mempunyai kedudukan yang
terhormat dalam masyarakat. Atau mungkin juga Anda takjub melihat banyak
dokter yang sejahtera dari segi finansial, segala apa yang menjadi
standar kemewahan melekat pada mereka. Atau Anda bangga melihat dokter
mampu mempengaruhi jalan hidup seseorang, menyelamatkan nyawa
orang-orang di dekat Anda, memberi sentuhan keajaiban dalam takdir
kehidupan orang lain.
Apapun
yang ada dalam bayangan Anda, profesi dokter memiliki sejarah
perjalanan yang lengkap. Pengetahuan humaniora ini berusaha memberi
gambaran pada kita bagaimana menjadi seorang dokter yang sejatinya
ideal, dokter yang manusiawi, yang berperilaku/berakhlak baik,
berkepribadian profesional. Untuk mendapatkan hasil di hilir yang baik,
tentu kondisi di hulu sudah harus dipersiapkan sebelumnya. Karena itu
disajikan pengetahuan mengenai humaniora yang diharapkan dapat
memberikan kontribusi untuk dapat memahami lebih baik tentang makna
kehidupan Anda sebagai seorang dokter.
Mungkin
saja terdapat anggapan bahwa masalah perilaku/akhlak baik dan sifat
belas kasih merupakan bawaan atau sifat lahiriah seseorang, bahkan ia
adalah watak alami yang melekat pada seseorang sejak dia dilahirkan, dan
berkembang sesuai pengaruh lingkungannya. Menganggap sifat belas kasih
atau compassion bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari, tetapi
suatu materi yang akan berpindah secara alami –melalui proses yang
panjang- dari satu manusia ke manusia lain. Tapi bila kita kembali
kepada jati diri sebagai manusia yang penuh dengan
kekurangan, maka kita tahu bahwa banyak hal yang harus kita pelajari,
cermati, hayati dan amalkan dalam hidup ini, apalagi bila dikaitkan
dengan jati diri kita sebagai seorang muslim. Dalam agama
Islam diajarkan mengenai akhlak secara lengkap dan terperinci. Bedanya,
konsep akhlak adalah konsep akhirat, jadi berimplikasi tidak hanya di
dunia ini saja. Sedangkan, konsep humaniora yang akan kita bahas adalah
konsep dunia, khususnya dunia medis jadi implikasinya jelas di dunia medis
juga. Namun, sebagai seorang muslim kita tentu percaya bahwa semua
aspek kehidupan kita di dunia ini pada akhirnya akan berdampak juga di
akhirat kelak.
Sebetulnya,
dalam kurikulum kita dikenal pendidikan ilmu budaya dasar yang menurut
Martiatmodjo merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities
atau pendidikan humaniora. Hanya saja penyajiannya jarang dikaitkan
dengan kehidupan kita kelak sebagai seorang dokter, jadi pengetahuan
tersebut mengawang-awang, sangat idealis, sehingga mahasiswa sulit
menerapkannya dalam realitas kedokteran yang terkenal praktis. Padahal
bagi komunitas medis, apa saja yang disentuhkan pada kulitnya melalui
kata medis, akan mudah melekat karena ada sekian banyak reseptor yang
sensitif dengan kata tersebut pada kulitnya. Karena itu dibutuhkan
pengetahuan yang lebih integratif agar kita menjadi paham arah dan
tujuan pembelajaran kita.
Pengetahuan
tentang humaniora sangat luas. Tapi bahasan kita dalam kuliah ini
terbatas pada bidang kehidupan kita sebagai dokter. Pengetahuan ini
harus dapat diterapkan di segala bidang kehidupan Anda kelak sebagai
dokter. Bidang yang dimaksud antara lain:
- Praktek kedokteran
- Pelayanan kesehatan
- Pendidikan kedokteran
- Penelitian
Berbicara
tentang humaniora, berarti berbicara tentang beberapa aspek yang
memiliki pengertian yang saling berkaitan, di antaranya mengenai
humanisme, etika, kebudayaan dan perilaku. Humaniora memberikan wadah
bagi lahirnya makna intrinsik nilai-nilai humanisme. Humanisme sendiri
adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa
perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan yang lebih baik. Ada juga yang
berpendapat humanisme sebagai sikap/tingkah laku mengenai perhatian
manusia dengan menekankan pada rasa belas kasih serta martabat individu.
Pengertian etika yang dipahami lebih luas di kalangan medis selama ini selalu menjadi jargon seorang dokter. Etika kedokteran dalam kamus kedokteran Stedman dirumuskan sebagai principles
of correct professional conduct with regard to the rights of the
physician himself, his patients, and his fellow practitioners.
Dengan kata lain etika dalam kedokteran merupakan prinsip-prinsip
mengenai tingkah laku profesional yang tepat berkaitan dengan hak
dirinya sebagai dokter, hak pasiennya, dan hak teman sejawatnya.
Bila dikaitkan dengan kebudayaan, maka seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dokter
adalah suatu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai
lawan interaksinya dalam konteks makhluk yang sama berbudaya. Karena itu
seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Untuk
membangun nilai-nilai sosial itu agar tetap menjadi landasan bagi setiap
dokter -terutama sebagai dokter muslim- dalam menjalani kehidupan
profesinya yang luas, maka disinilah pengetahuan kebudayaan menjadi
konsep dasar dalam membangun jati diri sebagai petugas layanan
kesehatan.
Sehubungan
dengan itu, penggunaan konsep perilaku di sini berada dalam pengertian
ketunggalannya dengan konsep kebudayaan. Perilaku seseorang, sedikit
atau banyak, terkait dengan pengetahuan, nilai dan norma dalam
lingkungan-lingkungan sosialnya, demikian juga halnya dengan seorang
dokter. Untuk proses hulu, lingkungan pendidikan yang baik tentu akan
mengantar seseorang untuk berperilaku yang baik pula.
Ilmu
kedokteran khususnya kedokteran umum yang menangani manusia jelas
sangat paralel dengan pengetahuan budaya yang berkaitan dengan hasil
kesadaran manusia. Segala penalaran dokter
sebagai manusia akan sama dengan penalaran budi manusia. Ilmu kedokteran
yang selalu memikirkan jasmani dan rohani manusia akan selalu dituntut
oleh keadaan lingkungan masyarakat. Salah pikir dari seorang dokter
berarti akan bertentangan dengan hati nurani manusia yang melekat dalam
pribadi sang dokter. Sebaliknya kesuksesan dokter akan selalu menjunjung
tinggi dan mengangkat nama harumnya karena segala kesuksesan itu tentu
dilandasi oleh budi/pikiran manusia secara sadar. Lantas, bagaimana
kaitannya dengan humanisme?
Menurut
Profesor U Mia Tu dari Myanmar dalam orasinya tentang humanisme dan
etika dalam berbagai bidang kedokteran, terminologi humanisme awalnya
dikaitkan dengan pergeseran filosofi dan budaya selama masa renaisans
Eropa. Belakangan, maknanya bergeser menjadi
sebuah sikap yang berkenaan dengan perhatian manusia pada sesamanya
dengan menekankan pada ‘compassion’ -belas kasihan- dan martabat individual.
Secara
tidak langsung, humanisme menyatakan suatu penghargaan kepada pasien
sebagai seorang individu; menunjukkan belas kasih dan mengerti akan rasa
takut dan khawatir dalam diri pasiennya; menyatakan suatu komunikasi
yang berarti kepada pasien sebagai seseorang dan bukannya sebagai sebuah penyakit. Lebih lanjut dia mengatakan, humanisme dalam kedokteran lebih dari sebuah etika. Lebih
dari sekedar menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan
fisik dan mental pasien karena kelalaian diri. Lebih dari yang sekedar
tertulis dalam sumpah Hippocrates. Humanisme merupakan tindakan positif,
seperti halnya belas kasihan yang bukan sekedar perasaan
prihatin kepada penderitaan orang lain tapi menolong dengan memberi
saran atau tindakan yang meringankan penderitaannya. Namun sungguh
mengejutkan karena definisi ‘belas kasihan’ tidak masuk dalam dua kamus
utama kedokteran – Dorland dan Stedman. Meskipun demikian, rasa belas
kasih sama pentingnya dengan pengetahuan ilmiah dan keterampilan pada
seorang dokter yang humanistik.
Situasi
apa yang menyebabkan sehingga humanisme dan etika mengilhami profesi
kedokteran saat ini? Apa yang telah terjadi sehingga menyebabkan banyak
dokter-dokter senior menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi
profesi kita?
Jika kita mengamati sejenak, akan disadari betapa kita telah jauh menyimpang dari idealisme sebagai dokter. Fenomena
ini telah mendunia dan juga telah menyebar ke dalam negara kita. Bukan
hanya praktek medis dan perawatan pasien yang menyimpang dari idealisme
sosial, bahkan konsep humanisme menjadi sesuatu yang asing dalam
pendidikan kedokteran dan dalam bidang penelitian kedokteran. Benar
bahwa etika kedokteran termasuk dalam kurikulum pada beberapa sekolah
kedokteran, namun diduga hal tersebut hanya sebagai metode resmi untuk menenangkan
hati mereka. Kenyataannya, dibutuhkan lebih dari sekedar memasukkan
subjek etika kedokteran ke dalam kurikulum agar lulusan kedokteran
menjadikan humanisme dan perilaku etis sebagai sifat kedua mereka.
Seorang
dokter bernama Assi Ba’l mengemukakan kerisauannya tentang profesi
dokter saat ini. Menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
fenomena tersebut, antara lain:
· Pemisahan antara jasad dan jiwa
· Pemisahan antara pencegahan dan pengobatan
· Penghambaan diri terhadap teknologi modern
· Berlebihan dalam mengejar spesialisasi
· Perbedaan dalam tingkat pelayanan kesehatan
Karena
tuntutan akan kompetensi profesi yang semakin meningkat, dokter-dokter
berlomba dalam menyempurnakan sisi keilmuannya. Kegamangan menghadapi
masyarakat yang gemar menggugat, ketakutan melakukan malapraktek,
peningkatan kejahatan moral oleh praktisi medis, semua hal-hal tersebut
menyebabkan para dokter sangat fokus pada keahlian medis mereka. Mereka
menjadi sangat perhatian dalam menangani keluhan fisik pasien, yang
penting pasien sembuh dari derita fisiknya. Mereka tidak perlu
repot-repot menangani jiwa pasien mereka, yang penting pasien itu belum
masuk kategori gila (silakan ke ahli jiwa kalau jiwa anda terganggu).
Untuk
urusan pencegahan penyakit, diserahkan dengan hormat kepada teman-teman
mereka, ahli kesehatan masyarakat. ”Kami cukup mengobati mereka yang
sakit. Kalau ikut-ikutan dalam program pencegahan, bisa-bisa kita
dituding mengambil lahan kerja mereka”. Begitu barangkali yang ada dalam
benak para dokter. Padahal sangat jelas bahwa para dokter pun
diharapkan partisipasi aktifnya dalam program pencegahan penyakit,
bahkan mulai pada tahap awal dari five level prevention, yaitu promosi kesehatan.
Perkembangan
teknologi dalam dunia kesehatan begitu menggila belakangan ini. Seorang
dokter tentu tidak mau ketinggalan dalam bidang teknologi atau akan
dicemoohkan oleh masyarakat -yang sudah semakin kritis- tentang jati
dirinya sebagai seorang profesional. Tidak ada istilah, dokter tidak
mengerti tentang perkembangan jaman, walaupun dokter itu baru saja
kembali dari daerah terpencil yang harus didiaminya selama dua-tiga
tahun. Teknologi modern adalah suatu keharusan. Salah satu hal yang
dapat memfasilitasi kebutuhan itu adalah dengan bersekolah
kembali, dan yang menjadi prioritas tentunya pendidikan spesialisasi.
Ikut pendidikan dokter spesialis tentunya akan membuat para dokter akan
terus-menerus berhubungan dengan perkembangan teknologi karena pusat
pendidikan berada di kota-kota besar. Tentu saja kita tidak dapat
menyalahkan dokter yang berniat meneruskan minatnya pada ilmu tertentu.
Ditopang oleh kecenderungan masyarakat yang selalu mengandalkan dokter
spesialis dan bertindak merujuk dirinya sendiri langsung kepada seorang
ahli, serta adanya jaminan income yang lebih menjanjikan, membuat mereka berlomba-lomba meraih gelar tersebut.
Menurut
Anda, apakah semua ini tidak cukup membuat seorang dokter merasa
terbebani sehingga punya waktu lagi untuk memikirkan perasaan pasiennya?
Tidak cukupkah dia dapat menghilangkan keluhan pasien-pasiennya dan
meringankan derita fisik mereka? Dan ada apa dengan orang-orang di
sekelilingnya, toh mereka mempunyai kehidupan masing-masing yang tidak
memerlukan campur tangan batinnya, selama dia tidak merugikan mereka. This is our own life,
marilah kita jalani sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu. Kita
sendiri yang akan mempertanggungjawabkan kehidupan kita kelak. Ini
betul. Tapi apakah memang semuanya harus berjalan demikian? Betulkah
semata-mata tangan dingin sang dokter saja yang dibutuhkan dalam
menyelesaikan masalah pasiennya? Mari kita lihat bagaimana humaniora
memandang kehidupan seorang dokter.
Humanisme dan etika dalam praktek kedokteran
Merawat orang sakit pada level fundamental berakar pada jiwa manusia dan humanisme. Misalnya
seorang ibu yang merawat anak atau bayinya yang sedang sakit,
kenalan/keluarga sekitarnya menawarkan bantuan berupa saran/nasihat
dimanapun diinginkan, sementara seorang wanita tua di antara para warga
merespon permintaan bantuan ibu tadi. Mereka semua tidak memiliki motif yang berkaitan dengan uang dalam memberikan bantuan, tapi dilandasi atas dasar belas kasih.
Pada
level yang berbeda, sejak jaman dahulu orang-orang suci, pendeta, tabib
dan dukun telah merawat orang-orang sakit karena adanya keyakinan bahwa
penyakit adalah manifestasi dari pengaruh iblis yang dilakukan dengan
perantaraan tuhan atau makhluk supernatural atau manusia lain. Motif
mereka dalam menyembuhkan orang sakit mungkin tidak sepenuhnya untuk
kepentingan orang sakit tersebut karena mereka memperoleh keuntungan
dalam tatanan sosial atas bantuan tersebut, disamping adanya kekuasaan
dan otoritas yang diberikan pada mereka dalam masyarakat.
Saat
hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter, kita diyakinkan bahwa
masalah sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih terhadap
penderitaan pasien, dan keinginan untuk memberikan pelayanan kesehatan.
Dokter praktek dan spesialis saat ini memiliki hubungan dokter-pasien
’one-to-one’ yang unik dan sangat pribadi, melibatkan kepatuhan,
ketergantungan, dan kepercayaan yang utuh dari pasien terhadap otoritas,
pengetahuan dan keterampilan dokternya. Dengan
otoritas tersebut terciptalah unsur kewajiban sosial untuk melayani
dengan belas kasih kepada mereka yang percaya dan bergantung kepada
kita.
Tetapi
martabat dan status profesi dokter dulunya tidak setinggi seperti yang
kita lihat sekarang. Misalnya pada jaman India kuno, hanya dokter
kerajaan yang memiliki status yang tinggi. Dokter pada jaman itu
dianggap tidak berdarah murni dan tidak pernah diundang pada acara-acara
sesajian untuk dewa-dewa. Kasta Brahmana tidak seharusnya menerima
makanan dari seorang dokter karena dianggap najis/kotor (Rao &
Radhalaksmi,1960). Pada masa kekaisaran Roma, dokter adalah pekerja
berat, orang liar, orang asing, dan pengobatan dianggap sebagai
pekerjaan rendah. Di Inggris abad ke-18, dokter bedah dan ahli
obat-obatan dianggap seperti pedagang dan termasuk kelas pinggiran.
Bahkan sekurangnya di abad 19, dokter di Perancis sangat miskin dan
statusnya juga rendah (Starr, 1949).
Namun,
dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran dan kemampuan para
dokter mempengaruhi perjalanan penyakit secara radikal, bermula di akhir
abad ke-19, secara perlahan kedokteran berubah statusnya dari sekedar
tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan bersamaan dengan itu
kekuasaan dan martabat profesi dokter juga meningkat seterusnya hingga
di abad 20 ini.
Dengan
tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter sebuah
profesi juga didapatkan. Kedokteran memiliki otonomi, mengontrol semua
yang ingin memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi melalui
pelatihan termasuk teori, bukan hanya keterampilan seperti pada
pekerjaan tukang. Profesi kedokteran selanjutnya menyusun lembaga
profesi struktural (asosiasi, publikasi, sekolah kedokteran yang dapat
dikontrol) dan bertujuan memberikan pelayanan yang humanistik kepada
masyarakat untuk kepentingan mereka.
Prinsip-prinsip
etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa awal dan berkaitan
dengan kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter. Namun harus dicatat,
bahwa semua pernyataan tentang etika dapat disesuaikan secara
profesional dengan dunia medis. Dan tidak satupun yang berkenaan dengan
aspek humanistik.
Pola
praktek dokter pada awal abad delapanbelas bersifat ‘biaya pelayanan
tunggal’ yaitu seorang dokter memberikan pelayanan medis dan untuk itu
dia dibayar, baik berupa uang maupun berupa hasil-hasil pertanian
seperti yang masih terdapat di negara-negara berkembang di beberapa
daerah dan desa yang miskin. Ini adalah masa dokter pedesaan atau dokter
‘kuno’ atau dokter keluarga yang mengetahui dengan baik keluarga
tersebut, berkeliling ke rumah-rumah, dan bertindak sebagai ‘teman dan
penuntun yang dapat dipercaya’, di samping merawat orang-orang sakit
dalam keluarga itu.
Perkembangan
kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan 19 membuat
dokter-dokter desa perlahan menghilang dan semakin banyak dokter menetap
di daerah kota untuk berpraktek. Hilangnya dokter pedesaan atau dokter
keluarga memulai timbulnya ‘pelayanan dehumanisasi’ di rumah-rumah
sakit.
Dalam
dekade terakhir abad 20, pola praktek di negara-negara industri berubah
sama sekali dengan ekonomi berorientasi pasar. Dari praktek mandiri,
sekarang kebanyakan dokter praktek berkelompok di bawah persetujuan
formal penggunaan fasilitas dan peralatan medis bersama-sama dan
pendapatan didistrubusikan sesuai perjanjian awal dengan melibatkan
personalia kesehatan.
Kalangan
bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya adalah
meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya industri
medis yang kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri rakyat
seperti saat dokter berpraktek mandiri. Manager di bidang kesehatan ini –
ekonom dan CEO (pejabat eksekutif), yang semakin sering memutuskan
jenis praktek pelayanan dan jenis organisasi dibandingkan para dokter.
Harga-harga obat melambung dan penggunaan peralatan medis yang canggih
berkonsekuensi dengan pembayaran yang tinggi. Telah dikatakan, semakin
dokter bergantung pada teknologi semata, semakin mereka kehilangan rasa
kemanusiaannya, yang berujung pada ‘pelayanan dehumanisasi’. Hal
tersebut ditambah dengan ketakutan akan tuntutan malapraktek, dokter
membayar asuransi untuk dirinya, yang tentu berdampak pada pasien
sehingga biaya layanan kesehatan semakin tinggi.
Perubahan
ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan pada aspek
finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak panggilan altruistik
dan humanistik sang dokter.
Lagi
menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar menelaah sebuah film
bergenre kedokteran, berjudul “Patch Adam”. Dia tertarik pada kritik
sang pemain, yang berperan sebagai dr. Hunter Adam: “Anda
bahkan tidak melihat kepada pasien saat Anda berbicara pada mereka” dan
saat dia berbicara melawan Badan Medis: “Kematian bukanlah musuh,
saudara-saudara, tapi sebuah kelalaian. Anda menangani penyakit,
hasilnya kalah atau menang. Anda menangani pasien, anda akan menang
bagaimanapun hasil akhirnya”.
Keadaan
ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter yang
betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya tidak
menyatakan bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa belas kasih karena
saya mengenal beberapa dokter yang betul-betul menangani pasiennya
dengan hati.
Tapi,
pemandangan seperti itu sangat jarang kita rasakan. Banyak dokter
melayani pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh tatakrama, tapi
yang kita bicarakan dalam kaitannya dengan humanisme adalah dokter
melayani pasiennya dengan melihat ke dalam perasaan pasiennya.
Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan tidak semata-mata
memburu apa yang menjadi diagnosis agar pengobatannya tepat dan pasien
ini segera menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk.
Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan
humanisme,
dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman dengan dokter
yang menatap mereka saat melakukan anamnesis dan memperlihatkan sikap
menerima dan mengerti akan segala keluhannya. Itu tidak sulit dilakukan.
Tempatkan saja diri Anda pada posisi mereka. Lalu nilai, situasi mana
yang lebih Anda sukai, ditangani oleh dokter yang berwajah dingin yang
sibuk meneliti penyakit Anda atau oleh dokter yang menunjukkan perasaan
kasih akan tiap keluhan Anda.
Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan
Sejak
jaman dulu, pemegang kekuasaan bertanggung-jawab terhadap kesehatan
rakyatnya. Raja pada jaman Indis kuno membangun tempat untuk orang-orang
sakit dan cacat, bahkan tempat khusus semacam rumah sakit untuk
kebidanan dan bedah. Kerajaan Romawi mengatur tempat layanan kesehatan
untuk orang-orang miskin yang akan dikunjungi oleh dokter-dokter umum
untuk memberikan pemeriksaan kesehatan yang dibutuhkan.
Pada
saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokteran di
negara-negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-rumah sakit yang
besar di Damascus, Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan segala aspek
dari layanan kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi
spiritualnya (memperdengarkan Al-Quran sepanjang saat tanpa henti),
aspek-aspek estetika (seperti memainkan musik lembut di malam hari untuk
membantu mereka yang sulit tidur), dan aspek-aspek yang dapat
meningkatkan semangat mereka (seperti membacakan kisah-kisah yang
menggugah jiwa pasien). Bahkan pasien diberikan sejumlah uang yang dapat
menutupi kekurangan semasa sakit, hingga mereka mampu kembali bekerja
(Guthrie, 1958). Ini adalah pendekatan yang betul-betul manusiawi.
Pelayanan
kesehatan di Eropa, khususnya Inggris relatif terlambat. Butuh
terjadinya suatu epidemi (kolera) untuk terbentuknya Badan Kesehatan
sebagai badan resmi walaupun sebelumnya negara telah megambil alih
langkah darurat jika terjadi penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler
di dunia medis pada masa-masa setelahnya mengubah pola tingkah dokter
dan pelayanan kesehatan. Teknologi tersebut membutuhkan biaya yang mahal
sehingga tidak mampu digapai oleh masyarakat miskin. Ditambah lagi
dengan dokter-dokter yang terlatih di rumah sakit yang sangat sedikit
dibekali dengan kemampuan untuk menghadapi masalah kesehatan dalam
masyarakat dan perkembangan baru dalam pelayanan kesehatan. Sekarang
ini, dikembangkan filosofi baru mengenai pelayanan kesehatan berbasis
persamaan dan keadilan sosial yang berakhir pada gerakan Pelayanan
Kesehatan Primer dan Kesehatan untuk Semua (World Health Organisation,
1981)
Seperti
telah disebutkan sebelumnya, dalam era pasar ekonomi, kedokteran telah
menjadi bisnis besar hingga di negara-negara berkembang. Karena bisnis
bersifat mengejar keuntungan, biaya pelayanan kesehatan akhirnya
meningkat. Dan akibatnya pelayanan terhadap masyarakat miskin
terabaikan. Idealnya, dokter mampu melakukan praktek hingga menyentuh
seluruh lapisan masyarakat, agar nilai-nilai humanisme tetap terjaga.
Tentu, secara pribadi hal tersebut sulit dilaksanakan. Tapi, jika
penentu kebijakan terutama dalam bidang kesehatan memperhatikan masalah
ini dan berangkat dengan keikhlasan untuk berbuat demi kemanusiaan, maka
teknologi yang tercanggih sekalipun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
banyak.
Humaniora dan etika dalam pendidikan kedokteran
Lantas,
apa yang bisa menjadikan seorang dokter memiliki kemampuan teknis
sekaligus sikap humanistik dalam perilaku profesinya? Apakah itu bagian
dari pelatihan dan pendidikan mahasiswa kedokteran dengan melihat contoh
dari para dosennya? Mari kita lihat bagaimana humanisme dalam
pendidikan kedokteran.
Baik
di dunia barat maupun dalam budaya timur, pelatihan untuk menjadi
seorang dokter bermula dari sistem magang, yaitu suatu sistem pelatihan
yang bersifat desentralisasi di mana murid dan gurunya terikat dalam
suatu hubungan pribadi. Sejak jaman dulu, murid kedokteran di India
misalnya, tinggal di rumah gurunya dan bahkan menjadi anggota keluarga
yang ikut mengerjakan segala pekerjaan rumah sang guru. Karena kontak
yang sangat dekat dengan gurunya, seorang murid tidak hanya belajar dari
guru, tapi menyerap filosofi, sikap, tingkah laku moral, nilai-nilai
dan metode hidupnya serta cara guru menghadapi pasiennya, singkatnya
‘bedside manner’ sang guru tadi.
Karena
kebutuhan akan dokter dan ahli bedah semakin meningkat, perubahan
sistem pelatihan mengalami perubahan. Kerajaan Romawi mengambil alih
pelatihan dokter dengan menunjuk guru-gurunya. Di negara-negara Islam,
pendidikan kedokteran telah berjalan dengan baik. Mereka ditempatkan di
rumah sakit untuk pendidikan kedokteran. Warga yang kaya membangun
rumah-rumah sakit yang mempekerjakan dokter-dokter handal yang
bertanggung-jawab dalam penanganan pasien sekaligus mengajar murid-murid
kedokteran.
Sekolah-sekolah kedokteran di Eropa pada abad 9 hingga 13 menjadikan
pendidikan kedokteran sebagai basis dan memberikan gelar dokter setelah
melalui suatu pendidikan dan ujian tertentu. Fakultas kedokteran ini
tidak hanya melatih para dokter tetapi juga mengontrol tindakan mereka.
Dengan semakin banyaknya mahasiswa yang dilatih di rumah sakit, keadaan
pasien yang sebenarnya terabaikan. Metode pengajaran klinis dengan
jumlah mahasiswa yang besar berdampak buruk pada pasien. Dan metode ini
diadaptasi oleh semua sentra pendidikan kedokteran di dunia.
Sekarang
kita mungkin dapat melihatnya di rumah-rumah sakit, beberapa pasien
mengeluh jika terlalu banyak disentuh oleh mahasiswa (ko-ass). Mereka
menghindar untuk dirawat di rumah sakit pendidikan karena merasa
dijadikan orang coba oleh para ko-ass, terurama pasien-pasien dari
golongan menengah ke atas. Sebetulnya keadaan ini dapat kita hindari
bersama. Pasien tentu tidak akan mengeluh jika tidak merasa dirinya
hanya dijadikan objek pembelajaran. Caranya tentu dengan menanamkan
kepercayaan kepada pasien dan masyarakat umumnya. Dan itu dapat dimulai
dari Anda, sebagai calon dokter.
Sebagai
mahasiswa, Anda harus betul-betul memahami semua yang Anda pelajari
selama proses pendidikan dan menguasai seluruh kompetensi yang sudah
ditetapkan. Jika kelak Anda dipercayakan untuk memegang pasien pada saat
kepanitraan klinik dan dapat menunjukkan bahwa sebagai mahasiswa
kedokteran Anda cukup handal, maka pasien akan dengan senang hati
mempercayakan penanganan penyakitnya pada Anda . Apalagi jika
dibarengi dengan tindakan yang etis dan penuh sentuhan manusiawi, tidak
akan ada pasien yang menolak Anda. Kita harus benar-benar tulus
menghadapi mereka, mendengar keluhan mereka dengan sabar, memperhatikan
apa yang menjadi persoalan sesungguhnya bagi mereka. Ingatlah pepatah
bijak orang tua kita bahwa apa yang dilakukan dari hati sampainya ke
hati juga.
Dengan
begitu, Anda dapat melalui proses pendidikan kedokteran dengan baik
karena sebenarnyalah hubungan yang terjadi antara Anda dengan pasien
tadi adalah hubungan kerjasama. Anda, sebagai mahasiswa, membutuhkan
mereka. Maka buatlah mereka pun membutuhkan Anda.
Dalam pendidikan tentang bioetik dan humaniora ini, Anda akan banyak dibekali dengan
pengetahuan tentang etika terutama saat Anda telah menjadi dokter.
Namun sebenarnya, prinsip-prinsip etika telah tertuang secara lengkap
dalam Islam, yaitu dalam ilmu tentang akhlak. Bahkan ilmu ini tidak
terbatas kepada profesi dokter saja, tapi memayungi semua insan yang
mengaku sebagai muslim. Jadi, saat sekarang pun prinsip-prinsip etika
sudah harus kita jalankan karena akhlak -yang sumbernya jelas dari Allah
SWT- berimplikasi pada akhirat yang mengikat muslim yang berakal dan
dewasa, yaitu kita semua.
Selama
masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, sesama mahasiswa,
pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam lingkungan kampus.
Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk melatih diri
bagaimana bersikap menjadi dokter yang baik.
Selama
masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, sesama mahasiswa,
pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam lingkungan kampus.
Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk melatih diri
bagaimana bersikap menjadi dokter yang baik. Betul bahwa setiap orang
memiliki karakter yang berbeda, tapi sikap dan perilaku yang baik
bukannya tidak dapat diamalkan. Sebagai contoh, dalam berdiskusi dengan
teman-teman Anda, seringkali terjadi benturan pendapat. Walaupun Anda
yakin bahwa pendapat Andalah yang benar, dan didukung oleh beberapa
teman yang lain, sangat tidak bijak jika Anda langsung menyalahkan dan
mematahkan pendapat teman Anda. Apalagi jika yang Anda serang adalah
pribadinya, bukan opininya.
Belum
lagi jika menghadapi persoalan yang berbeda, adanya beban tugas dari
dosen yang tidak habis-habis (walaupun alasan bahwa hal tersebut untuk
kepentingan mahasiswa sendiri kadang sulit diterima), dan waktu yang
terasa sangat menghimpit, tentu akan sulit bagi kita untuk tetap
bersikap stabil. Masalahnya, kita tidak punya pilihan selain
menghadapinya. Kita menerima pengakuan sebagai pribadi dewasa, jadi
sudah seharusnya kita menyadari konsekuensi dari suatu pilihan. Anda
memilih untuk menjadi dokter, berarti sedikit banyaknya Anda tahu
seperti apa profesi ini.
Dari
segi keterampilan, kompetensi yang dikehendaki dijelaskan oleh
masing-masing sub divisi pendidikan kedokteran. Dengan sistem integrasi
yang baru diterapkan, Anda diharapkan memiliki keterampiln klinis yang
lebih terarah. Keaktifan dari Anda sebagai mahasiswa diharapkan karena
pembelajaran ini memang dipusatkan pada Anda (student-centered
learning). Para pendidik di bidang kedokteran sepakat bahwa tujuan
pembelajaran yang baru ini adalah mengarahkan pendidikan kedokteran kepada
pengalaman berbasis komunitas, model yang berpusat pada pembelajar
sehingga memungkinkan dokter untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat
sekaligus berpraktek dengan berbekal pengetahuan dan keterampilan yang
memasukkan aspek-aspek psikososial dan biologi dalam pelayanan
kesehatan.
Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran
Kesadaran
sosial, tanggung jawab sosial dan akuntabilitas sosial telah menjadi
ciri profesi dokter, dan karakteristik ini dapat diterapkan juga kepada
para peneliti di bidang kedokteran. Etika dan humanisme dapat
diaplikasikan ke dalam seluruh spektrum kegiatan penelitian, mulai dari
pemilihan topik penelitian, hingga pada cara penelitian yang dilakukan
dan pada aplikasi hasil penelitian dan pengembangan.
Misalnya
dalam memilih topik penelitian, harus disadari bahwa peneliti memiliki
tanggung jawab sosial untuk mencoba mencari solusi dari masalah-masalah
yang paling banyak menyebabkan munculnya penyakit dan penderitaan dalam
masyarakat.
Dalam
melakukan percobaan yang melibatkan manusia sebagai relawan, peneliti
haruslah dibawah kontrol etis yang ketat. Dan seperti halnya seorang
dokter harus memiliki perilaku medis yang baik dengan hubungan manusiawi
dengan pasiennya, begitu juga seharusnya seorang peneliti.
Tanggung
jawab dan akuntabilitas sosial dalam penelitian dimaksudkan agar
penelitian tersebut dilakukan bukan hanya untuk kepentingannya saja.
Peneliti diwajibkan melihat kegunaan hasil penelitiannya. Jadi hasilnya
tidak hanya berakhir di kertas jurnal saja, tapi harus mencapai ke
penentu kebijakan, pembuat keputusan dalam pelayanan kesehatan, dan para
profesi di bidang kesehatan serta para konsumen.
Daftar Pustaka
- Assi Ba’l, Z.A.: Dokter-dokter, Bagaimana Akhlakmu, Gema Insani Press, Jakarta, 1992
- •Prasetya, J.T.,: Ilmu Budaya Dasar, Rineka Cipta, Jakarta, 1998
- Samil, RS. Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohrdjo. Jakarta. 2001
- Tu, U.M. Humanism and Ethics in Medical Practice, Health Service, Medical Education and Medical Research, dalam The First Myanmar Academy of Medical Science Oration. Myanmar.2001.
0 komentar:
Posting Komentar